Ketahuilah
bahwa permulaan Haji, adalah kefahaman tentang kedudukan Haji dalam agama,
kerinduan terhadapnya, berazam untuk melakukannya, memutuskan berbagai kendala
yang menghalanginya, dan kemudian membeli pakaian ihram, membeli bekal,
mempersiapkan kendaraan, keluar, keberangkatan, ihram dari Miqat dengan
Talbiyah, memasuki Makkah, dan menyempurnakan berbagai amalan Haji sampai
selesai.
Berikut
ini kami kutipkan penjelasan Imam Al-Ghazali yang berisi tentang hasil renungan
beliau terhadap berbagai rangkaian pelaksanaan ibadah Haji.
1. Kefahaman :
Ketahuilah bahwa tidak ada wushul
(pencapaian) kepada Allah SWT kecuali dengan membersihkan diri dari berbagai
syahwat, menahan berbagai kelezatan, membatasi diri pada hal-hal yang bersifat
primer (darurat), dan tajarrud (totalitas) kepada Allah dalam semua
gerak dan diam. Setelah hal-hal tersebut terkikis, setelah makhluk
mengikuti berbagai syahwat, kemudian mereka meninggalhan tajarrud dalam ibadah
kepada Allah maka Allah mengutus Nabi-Nya Muhammad SAW untuk menghidupkan jalan
akhirat dan memperbaharui sunnah para Rasul dalam menempuh jalan tersebut.
Ketika ditanya tentang kerahiban dan wisata dalam agamanya, Nabi SAW menjawab :
“Allah telah menggantinya untuk kita dengan jihad dan takbir pada setiap
pendakian”(Riwayat Abu Daud dari Hadits Abu Umamah).
Allah telah memberikan ni’mat-Nya kepada ummat ini
dengan menjadikan Haji sebagai “kerahiban” bagi mereka. Allah memuliakan
Al-Bait Al-Atiq (Baitullah) dengan menisbatkannya kepada diri-Nya,
menetapkannya sebagai tujuan para hamba-Nya, menjadikan apa yang ada
disekitarnya sebagai kesucian bagi rumah-Nya dan pengagungan urusan-Nya,
menjadikan Arafah sebagai kanal pada halaman telaga-Nya, dan menegaskan
kesucian tempat dengan mengharamkan binatang buruan dan pepohonannya, yang
dijadikan sebagai tujuan para penziarah dari segenap penjuru nun jauh dalam
keadaan lusuh seraya merendahkan diri kepada Pemilik “rumah”, berserah diri
kepada-Nya, tunduk kepada keagungan-Nya dan pasrah kepada keperkasaan-Nya.
Disertai pengakuan bahwa Dia terbebaskan dari bertempat di sebuah rumah atau
negeri, agar hal tersebut lebih dapat menyempurnakan kehambaan dan ketundukan
mereka. Oleh sebab itu, Dia mewajibkan kepada mereka di dalam Haji ini berbagai
amal perbuatan yang tidak akrab bagi jiwa dan tidak biasa difahami
makna-maknanya oleh akal, seperti melontar dengan batu kerikil, dan berjalan
pulang-balik antara Shafa dan Marwah beberapa kali putaran. Dengan berbagai
amal perbuatan seperti ini nampaklah kesempurnaan kehambaan dan ‘ubudiyah.
Sesungguhnya
zakat adalah wujud solidaritas yang bisa difahami hikmahnya dan akal juga punya
kecenderungan kepadanya. Puasa adalah mengalahkan syahwat yang menjadi alat
musuh Allah, dan konsentrasi ibadah dengan menahan diri dari berbagai hal yang
menyibukkan. Ruku’ dan sujud dalam sholat adalah merendahkan diri kepada Allah
dengan berbagai perbuatan yang mencerminkan kerendahan, dan jiwa pun sudah
terbangun untuk mengagungkan Allah. Akan tetapi berjalan mondar mandir dalam
Sa’i, melempar batu kerikil dan perbuatan-perbuatan lainnya, yang semisal dalam
ibadah Haji ini “ tidak biasa” bagi jiwa dan tidak bisa difahami maknanya oleh
akal. Tidak ada faktor yang mendorong untuk melakukan hal tersebut kecuali
semata-mata perintah dan tujuan melaksanakan perintah yang wajib diikuti. Hal
ini mengandung arti menghentikan peran akal dan memalingkan jiwa dan tabi’at
dari hal-hal yang telah diakrabinya. Karena setiap hal yang maknanya bisa
difahami oleh akal pasti tabi’at memiliki kecenderungan kepadanya, sehingga
kecenderungan tersebut menjadi pembantu dan pendorong sekaligus untuk
melaksanakannya. Dengan demikian disini tidak nampak kesempurnaan kehambaan dan
ketundukan. Oleh karena itu, Nabi Muhammad SAW mengucapkan dalam Haji secara
khusus : “Aku sambut seruan-Mu dengan Haji sebagai hak, ubudiyah dan
penghambaan”.
Rasulullah SAW tidak pernah mengucapkan ucapan
tersebut dalam kaitannya dengan shalat atau ibadah lainnya. Apabila hikmah
kebijksanaan Allah menghendaki bahwa keselamatan makhluk terkait dengan
keharusan agar amal perbuatan mereka berlawanan dengan hawa nafsu tabi’at
mereka dan perbuatan mereka didasarkan pada sunnah-sunnah kepatuhan dan
berbagai amal perbuatan mereka didasarkan pada sunnah-sunnah kepatuhan dan sebagai
konsekwensi penghambaan, maka sesuatu (ibadah) yang makna-maknanya tidak bisa
difahami oleh akal merupakan bentuk ibadah yang paling baik dan mengena dalam
tazkiyatun-nafs dan pengalihannya dari tuntutan tabi’at dan akhlak kepada
tuntutan penghambaan.
Apabila
engkau telah memahami hal ini maka engkau pasti akan faham bahwa kekagetan jiwa
dari berbagai amal perbuatan yang aneh ini sumbernya adalah ketidakfahaman
tentang berbagai rahasia ibadah. Kiranya penjelasan ini sudah cukup untuk
memahami prinsip Haji Insya Allah.
2. Kerinduan.
Suasana
bathin ini akan muncul setelah kefahaman dan kesadaran bahwa rumah itu adalah
Baitullah, sehingga orang berangkat menuju Allah dan berziarah kepada-Nya.
3. ‘Azam.
Hendaknya
diketahui bahwa dengan ‘azamnya ia bertekad meninggalkan keluarga dan negeri,
menjauhi berbagai syahwat dan kelezatan dengan tujuan menziarahi rumah Allah. Hendaknya
ia menggagungkan dalam dirinya keagungan “rumah” dan keagungan Pemilik rumah.
Hendaknya diketahui bahwa ia telah bertekad melakukan sesuatu yang sangat
penting, dan siapa yang mencari sesuatu yang sangat agung maka sesungguhnya ia
mempertaruhkan hal yang sangat agung. Hendaklah ia menjadikan tekadnya itu
semata-mata ikhlas karena mencari ridha Allah, jauh dari berbagai kotoran riya’
dan pamrih. Hendaknya ia menyadari bahwa tujuan dan amal perbuatannya tidak
akan diterima kecuali jika dilakukan secara ikhlas.
4.
Memutuskan Berbagai Kendala.
Maksudnya
adalah menyelesaikan berbagai “perkara” atau “sangkutan” yang berkaitan dengan
manusia dan bertaubat secara ikhlas
kepada Allah dari semua kemaksiatan. Karena setiap “perkara” merupakan
sangkutan. Setiap sangkutan, seperti orang yang berhutang, akan hadir dan
berkaitan dengan talbiyah-talbiyahnya. Kepadanya akan diserukan : Kemanakah
kamu pergi, apakah kamu bermaksud ke rumah Raja Diraja sedangkan engkau
menyia-nyiakan perintah-Nya di rumahmu ini dan mengabaikannya? Tidakkah engkau
malu, engkau datang kepada-Nya sebagai seorang hamba yang bermaksiat sehingga
Dia tidak akan menerimamu? Jika engkau ingin ziarahmu diterima maka laksanakanlah
perintah-perintah-Nya, selesaikanlah segala perkaramu, bertaubatlah kepada-Nya
dari semua kemaksiatan, dan putuskanlah keterkaitan hatimu dari berpaling
kepada apa yang ada dibelakangmu, agar engkau bisa menghadap kepada-Nya dengan
wajah hatimu, sebagaimana engkau menghadap ke rumah-Nya dengan wajah
zhahirmu. Jika engkau tidak melakukan
hal itu maka perjalananmu tidak mendapatkan apa-apa kecuali keletihan,
kesengsaraan, bahkan pengusiran dan penolakan.
Maka pada saat
itu hendaklah ia mengingat kain kafan yang akan membungkusnya. Ia akan
memakai dan bersarung dengan dua kain ihram pada saat mendekati Baitullah, dan
bisa jadi perjalanannya tidak bisa mencapainya, tetapi yang pasti ia akan
bertemu Allah dalam keadaan terbungkus dengan kain kafan. Seperti halnya ia
tidak menjumpai Baitullah kecuali dengan pakaian khusus yang tidak biasa
dipakai, demikian pula ia tidak akan bertemu Allah setelah kematian kecuali
dalam pakaian yang tidak sama dengan pakaian dunia. Pakaian ini sangat dekat
dengan pakaian ihram tersebut sebab tidak berjahit sebagaimana kain kafan.
6.
Bekal.
Carilah bekal
dari tempat yang halal. Jika merasakan adanya ketamakan untuk memperbanyak dan
tuntutan untuk selalu ada sepanjang perjalanan, tanpa berubah dan rusak sebelum
tercapainya tujuan, maka hendaklah ia mengingat bahwa perjalanan akhirat
lebih panjang dari perjalanan ini. Bekal yang sesungguhnya adalah taqwa
sedangkan bekal selainnya, yang dikira sebagai bekalnya, akan tertinggal saat
kematiannya dan tidak menyertainya, seperti makanan basah yang rusak di awal
terminal perjalanan sehingga ketika membutuhkan ia kebingungan tanpa bisa
berbuat apa-apa. Maka hendaklah berhati-hati jika amal perbuatannya yang
merupakan bekalnya ke akhirat itu tidak dapat menyertainya setelah kematian,
bahkan telah rusak oleh berbagai bakteri riya’ dan keteledoran.
7. Kendaraan
Hendaklah ia
bersyukur kepada Allah dengan hatinya atas berbagai kendaraan yang telah
ditundukkan Allah untuk manusia, dan hendaklah mengingat pada saat itu akan
kendaraan yang dinaikinya ke kampung akhirat yaitu Jenazah yang diusung di atas
kendaraan itu. Karena sesungguhnya urusan orang Haji sama dengan urusan
perjalanan, dan hendaklah ia memperhatikan apakah perjalanannya dengan
kendaraan ini layak menjadi bekal bagi perjalanan di atas kendaraan tersebut ?
Betapa dekat hal tersebut dengannya. Bukankah kematian sangat dekat dan
pengusungan jenazah dapat dipastikan, sedangkan kemudahan perjalanan masih
penuh keraguan ? Bagaimana bisa terjadi ia sangat baik mempersiapkan bekal
perjalanan yang masih diragukan dengan memeriksa bekal dan kendaraannya tetapi
ia mengabaikan persiapan perjalanan yang pasti ?
8. Keluar dari Negeri
Pada
saat itu hendaklah ia mengetahui bahwa ia pasti berpisah dengan keluarga dan
kampung halaman menuju Allah dalam suatu perjalanan yang tidak sama dengan
berbagai perjalanan dunia. Karena itu hendaklah ia menghadirkan didalam
hatinya apa yang ia inginkan, kemana arah yang dituju, dan siapa yang akan dikunjungi
? Sesungguhnya ia menuju kepada Raja Diraja di tengah keramaian para
penziarah-Nya yang diseru lalu mereka bangkit berduyun-duyun. Mereka memutuskan
segala keterkaitan dan meninggalkan semua makhluk menuju ke Baitullah yang
sangat diagungkan demi mengharap kepada Pemilik rumah itu akan puncak
karunia-Nya dan kebahagian dengan melihat-Nya (kelak di surga). Hendaknya ia
menghadirkan di dalam hatinya harapan wushul (sampai) dan qabul
(diterima), bukan sebagai perbuatan nekat atau spekulasi dalam melakukan
perjalanan dan perpisahan dengan keluarga dan harta kekayaannya, tetapi karena
yakin akan karunia Allah dan harapan akan mendapatkan janji-Nya yang telah
diberikan kepada orang yang menziarahi rumah-Nya. Hendaklah ia mengharap,
seandainya tidak bisa sampai Baitullah karena meninggal di tengah perjalanan,
bisa bertemu Allah dan bertamu kepada-Nya, karena Dia telah berfirman :
"ومن يخرج من بيته مهاجرا إلى الله ورسوله ثم يدركه الموت فقد
وقع أجره على الله"
“ Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah
kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke
tempat yang dimaksud), maka sungguh telah tetap pahalanya disisi Allah” (Qs.
An-Nisa : 100)
9. Berangkat Menuju Miqat.
Pada saat itu hendaklah ia mengingat suasana antara
keluar dari dunia dengan kematian menuju miqat hari kiamat dan berbagai
peristiwanya yang mengerikan. Juga suasana keterpisahannya dari keluarga dan
kerabatnya; kegelapan kubur, kepayahan, dan kesendiriannya. Hendaknya berbagai kekhawatiran terhadap berbagai amal
perbuatan dan perkataanya ini menjadi bekal untuk menghadapi berbagai suasana
kubur yang menakutkan itu.
10. Ihram dan Talbiyah dari
Miqat.
Pada saat itu hendaklah ia mengetahui bahwa maknanya ialah
menyambut seruan Allah. Karena itu berharaplah penerimaan dari-Nya dan takutlah
bila dikatakan kepada Anda :
"لا لبيك ولا
سعديك"
“Tidak ada sambutan untukmu dan tidak ada
kebahagian bagimu”. Hendaklah anda selalu berada dalam keadaan antara harap dan
cemas. Janganlah anda mengandalkan kemampuan dan kekuatanmu, tetapi berharap
penuhlah kepada karunia dan kedermawanan Allah, karena waktu talbiyah
merupakan awal persoalan (yang sebenarnya) dan sekaligus sangat penting.
Sufyan bin Uyainah berkata: Ali bin Al-Husain RA
menunaikan Haji ketika berihram di atas kendaraan, wajahnya pucat pasi,
badannya gemetar dan tidak bisa mengucapkan talbiyah, lalu ditanya
kepadanya : Mengapa engkau tidak bertalbiyah ? Ia menjawab : “Aku takut bila
dikatakan kepadaku, tidak ada sambutan untukmu dan tidak ada kebahagiaan
bagimu.”
Ketika ber-talbiyah dengan suara keras di miqat
hendaknya orang yang bertalbiyah mengingat akan sambutannya kepada seruan Allah
ketika berfirman : وأذن في الناس بالحج )) “Dan
berserulah kepada manusia untuk mengerjakan Haji.” (QS. Al-Hajj : 27). Juga
seruan-Nya kepada makhluk dengan tiupan sangkakala, kebangkitan mereka dari
kubur dan berdesakkan mereka di lapangan hari kiamat demi memenuhi seruan Allah
; sementara itu mereka terbagi kepada golongan muqarrabin dan golongan
yang dimurkai atau golongan yang diterima dan golongan yang ditolak. Pada
mulanya mereka berada dalam suasana antara cemas dan harap seperti suasana para
hujjaj di miqat dimana mereka tidak mengetahui apakah mereka akan mampu
menyempurnakan Haji dan diterima ataukah tidak ?
11.
Memasuki Makkah.
Pada saat itu hendaklah ia mengingat bahwa ia
telah sampai ke tanah suci Allah dengan aman, dan hendaklah ia berharap dengan
hal tersebut akan aman dari siksa Allah. Hendaklah ia takut bila tidak
menjadi orang yang dekat (dengan-Nya) sehingga dengan memasuki tanah suci ia
menjadi kecewa dan berhak mendapatkan murka. Hendaklah pengharapannya selalu
mewarnai seluruh waktunya, Karena kedermawanan Allah sangat luas, Tuhan Maha
Kasih - Sayang, kemuliaan Baitullah sangat agung, hak orang yang menziarahinya
terpelihara, dan jaminan orang yang meminta perlindungan tidak tersia-siakan.
12. Pandangan Mata pada
Baitullah.
Hendaklah pada saat itu ia menghadirkan keagungan
ka’bah di dalam hati dan merasakan seolah-olah ia menyaksikan Pemilik rumah
karena saking besarnya pengagungan
terhadapnya. Berharaplah agar Allah berkenan memberikan karunia melihat
wajah-Nya yang Maha Mulia (di surga) sebagaimana Dia telah mengaruniakan Anda
menyaksikan rumah-Nya yang mulia. Bersyukurlah kepada Allah atas perkenan-Nya
yang telah menyampaikan Anda ke derajat ini dan menyusulkan Anda dengan
rombongan orang-orang yang bertamu kepada-Nya. Ingatlah pada saat itu
berduyun-duyunnya semua pada hari kiamat kearah surga dengan penuh harap bisa
memasukinya, kemudian mereka terbagi kepada golongan yang diizinkan memasukinya
dan golongan yang ditolak, persis seperti terbaginya para hujjaj kepada
golongan yang diterima dan golongan yang ditolak Hajinya. Janganlah lupa
mengingat perkara-perkara akhirat dari setiap apa yang Anda saksikan, karena
semua keadaan para hujjaj merupakan gambaran ihwal keadaan akhirat.
13. Thawaf di Baitullah.
Ketahuilah bahwa ia adalah shalat. Karena itu, hadirkanlah
ta’zhim, rasa cemas, harap, dan cinta (yang telah kami jelaskan dalam
bab shalat) di dalam hatimu. Ketahuilah bahwa dengan thawaf engkau seperti para
malaikat muqarrabin yang berkerumunan diseputar ‘Arsy dan
mengelilinginya. Janganlah Anda mengira bahwa tujuan thawaf adalah
semata-mata mengelilingi Baitullah dengan jasad, tetapi maksud utamanya adalah
thawaf hati dengan mengingat Tuhan Pemilik rumah, sehingga janganlah Anda
memulai dzikir kecuali dari-Nya dan janganlah Anda mengakhiri dzikir kecuali
dengan-Nya, sebagaimana Anda memulai tahwaf dari ka’bah dan berakhir di ka’bah.
14. Istilam (mencium atau
menyentuh Hajar Aswad).
Maka yakinilah pada saat itu bahwa engkau tengah
berbai’at kepada Allah untuk mentaati-Nya. Kuatkanlah tekadmu untuk menepati
bai’atmu. Barangsiapa menghianati bai’at maka ia berhak mendapatkan murka.
Ibnu Abbas RA meriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda :
" عن ابن عباس قال: قال رسول الله صلى الله
عليه وسلم : إن هذا الركن الأسود يمين
الله في الأرض يصافح به عباده"
“Hajar Aswad adalah tangan kanan
Allah di muka bumi yang dengannya Dia menyalami makhluk-Nya sebagaimana
seseorang menyalami saudaranya.” (Diriwayatkan oleh Al-Hakim dan dia
men-shahih-kannya)
15. Bergelantungan dengan
Kelambu Ka’bah dan Menempel di Multazam
Berniatlah dalam menempel tersebut untuk
meningkatkan kecintaan dan kerinduan kepada ka’bah dan Pemilik Ka’bah dan
berharap perlindungan kepada-Nya dari api neraka dalam setiap bagian dari
badanmu. Berniatlah dalam bergelantungan dengan kelambu Ka’bah itu untuk
meningkatkan keseriusan dalam memohon ampunan dan keamanan, seperti orang yang
berdosa yang bergelayutan dengan pakaian orang yang dimintai ma’af, yang
merendahkan diri kepada-Nya demi mengharap ampunan-Nya, yang menampakkan bahwa
tidak ada tempat berlindung dari-Nya kecuali kepada-Nya, ia tidak akan
melepasakannya kecuali dengan ampunan dan jaminan keamanan di masa depan
(akhirat).
16. Sa’I antara Shafa dan Marwah
di Pelataran Baitullah.
Sesungguhnya ia sama dengan mondar mandirnya hamba
dilapangan rumah Raja demi memperlihatkan keikhlasan dalam berkhidmah dan
mengharapkan perhatian dengan mata kasih sayang, seperti orang yang masuk
kepada Raja kemudian keluar dalam keadaan tidak menyadari apa yang telah
diputuskan seoarang Raja berkenaan dengan dirinya, apakah diterima atau ditolak
? Ia senatiasa mondar mandir antara shafa dan marwah itu akan
bolak-baliknya dua daun timbangan di lapangan hari kiamat. Hendaklah ia
mengingat pula bolak-baliknya di antara dua daun timbangan itu seraya melihat
kepada hasil timbangan, surga atau ampunan.
17. Wuquf di Arafah.
Ingatlah dari pemandangan tentang berjubelnya
manusia, alunan suara, perbedaan bahasa, dan kelompok-kelompok yang mengikuti
para pemimpinnya dalam berbagai pelaksanaan manasik akan lapangan hari
kiamat, pertemuan semua ummat beserta para Nabi dan pemimpin mereka, ambisi
mereka untuk mendapatkan syafa’at para pemimpin mereka, kebingungan mereka di sebuah
lapangan, antara diterima dan ditolak. Bila Anda telah mengingat hal
tersebut maka ajaklah hatimu untuk merendah dan berdo’a kepada Allah agar
berkenan menghimpun Anda bersama kelompok orang-orang yang sukses dan
mendapatkan limpahan kasih sayang. Realisasikanlah harapanmu dengan berbaik
sangka kepada Allah; karena suasana tersebut merupakan kesempatamn ijabah.
Oleh karena itu dikatakan, “sesungguhnya diantara dosa yang paling besar ialah
seseorang datang di Arafah sedangkan ia menyangka bahwa Allah tidak
mengampuninya.” Seolah-olah bersatunya kemauan dan menampakkan persatuan para
hadirin dari berbagai penjuru negeri merupakan rahasia Haji dan puncak
tujuannya, karena itu tidak ada jalan yang lebih baik untuk meminta kucuran
rahmat Allah selain bersatunya kemauan dan kerjasama hati dalam satu waktu.
18. Melempar Jumrah.
Maka niatkanlah untuk mematuhi perintah, demi
membuktikan kehambaan dan ‘ubudiyah, dan bergegas semata-mata
melaksanakan perintah tanpa berfikir panjang, disamping meneladani Nabi Ibrahim
ketika dihadang Iblis La’anahullah ditempat tersebut lalu Allah
memerintahkannya agar melemparinya dengan batu dalam rangka mengusir dan
menggagalkan harapannya. Jika terbetik dalam pikiran Anda bahwa syeitan
menghadangnya lalu ia (Nabi Ibrahim) melemparnya, tetapi sekarang syeitan tidak
menghadangku ? Maka ketahuilah bahwa khayalan tersebut berasal dari syeitan;
dialah yang telah memasukkan bisikan itu kedalam hatimu untuk mengendorkan
tekadmu dalam melempar, dan dibayangkan dalam fikiran Anda bahwa perbuatan
tersebut tidak bermanfaat dan sia-sia, lalu mengapa Anda repot-repot
melakukannya ? Jika fikiran seperti ini muncul maka usirlah segera dari dirimu
dengan keseriusan dan semangat yang tinggi dalam melempar sekalipun syeitan
tidak menyukainya. Dengan demikian Anda telah mematahkan punggungnya karena dia
tidak berhasil menghalangimu dari melaksanakan perintah Allah, demi
mengagungkan-Nya dengan semata-mata perintah tanpa banyak berfikir lagi.
19. Menyembelih Binatang Qurban
(Hadyu)
Ketahuilah bahwa ia merupakan taqarrub
kepada Allah dengan melaksanakan perintah. Karena itu, persiapkanlah
binatang qurban itu dengan sempurna dan berharaplah kepada Allah agar Dia
membebaskan setiap bagian jasadmu dari
api neraka dengan setiap bagian binatang qurban tersebut. Semakin besar dan
banyak bagian-bagian binatang qurban itu semakin banyak pula pembebasannya dari
api neraka.
20. Ziarah ke Madinah.
Apabila penglihatan Anda telah menyaksikan
tembok-tembok Madinah maka ingatlah bahwa ia adalah negeri yang telah dipilih
Allah untuk Nabi-Nya SAW, tempat hijrahnya, kampung yang menjadi tempat
menerima berbagai ajaran Allah, wilayah yang menjadi tempat melakukan jihad
melawan musuhnya dan memenangkan agamanya hingga Allah memanggilnya, dan tempat
kuburannya bersama dua orang pendukung setianya, Abu Bakar dan Umar RA. Kemudian
bayangkanlah jejak-jejak langkah Rasulullah SAW di saat menjalani kehidupannya,
bayangkanlah jalan dan langkahnya di lorong-lorongnya, bayangkanlah kekhusyu’an
dan ketenangannya dalam berjalan, hati yang penuh ma’rifat kepada Allah,
namanya yang telah diagungkan Allah hingga disebut bersama-Nya dan batalnya
amal orang yang melecehkan kehormatannya sekalipun hanya berupa meninggikan
suara di atas suaranya. Kemudian ingatlah karunia yang telah diberikan
Allah kepada orang-orang yang telah menyertainya, hidup semasa denganya dan
mendengarkan sabda-sabdanya. Sesalilah dirimu sejadi-jadinya karena tidak
mendapatkan kesempatan menjadi shahabatnya atau menjadi kawan para shahabatnya.
Kemudian ingatlah bahwa engkau tidak mendapatkan kesempatan untuk melihatnya di
dunia dan untuk bisa melihatnya di akhirat pun belum bisa dipastikan, bahkan
bisa jadi Anda tidak dapat melihatnya kecuali dengan susah payah. Sementara itu
Beliau SAW tidak dapat menerimamu karena keburukan amal pebuatanmu, sebagaimana
disabdakannya : “Allah mengangkat beberapa kaum kepadaku lalu mereka berkata
: Wahai Muhammad ! Kemudian aku berkata : “Wahai Tuhanku, para shahabatku.”
Tetapi Allah menjawab : “Sesungguhnya kamu tidak tahu apa yang telah mereka
lakukan sesudahmu,” lalu aku berkata : “Menjauhlah dan celakalah kalian”.
(Riwayat Bukhari & Muslim).
Jika Anda
tinggalkan kehormatan syari’atnya sekalipun hanya satu detik maka engkau tidak
aman dari hambatan yang akan menghalangimu dari Nabi SAW karena penyimpanganmu
dari hujjahnya. Perbesarlah harapanmu agar Allah tidak menghalangimu
darinya dengan mengaruniakan iman. Sungguh engkau sangat memerlukan pandangan
kasih sayang Allah. Apabila engkau sampai di Masjid Nabawi, maka ingatlah bahwa
ia adalah pelataran yang telah dipilih Allah untuk Nabi-Nya dan kaum Muslimin
yang pertama. Ingatlah bahwa kewajiban-kewajiban Allah pertama kali ditegakkan
adalah di pelataran tersebut. Ia telah menghimpun makhluk Allah yang paling
utama baik semasa hidup ataupun sesudah kematiannya. Perbesarlah harapanmu
kepada Allah agar melimpahkan rahmat-Nya kepadamu dengan Anda memasuki Masjid.
Sungguh tempat ini merupakan tempat yang paling mudah untuk menghadirkan
kekhusyu’an hati setiap Mu’min.
21.
Ziarah ke Makam Rasulullah SAW.
Hendaklah engkau berdiri dihadapannya dan
menziarahinya seolah-olah engkau menziarahinya ketika masih hidup. Janganlah
anda mendekati kuburannya kecuali seperti halnya engkau mendekati pribadinya
yang mulia semasa hidup; sebagaimana engakau berpendapat haram menyentuh
kuburnya dan menciumnya, tetapi berdirilah dari kejauhan di hadapannya, karena
menyentuh kuburan dan menciumnya untuk kesaksian merupakan tradisi kaum Nasrani
dan Yahudi. Hadirkanlah keagungan derajatnya di hatimu, karena telah diriwayatkan
dari Nabi SAW : “Sesungguhnya Allah telah mewakilkan malaikat di kuburnya
untuk menyampaikan kepadanya salam orang yang mengucapkan salam dari ummatnya”.
Ini menyangkut hak orang yang tidak mendatangi
kuburannya maka bagaimana pula dengan
orang yang sengaja meninggalkan negeri dan menempuh perjalanan jauh karena
merindukan pertemuan dengannya, dan cukup menyaksikan kuburnya yang mulia
karena tidak mendapatkan kesempatan menyaksikannya secara langsung ? Nabi SAW
bersabda :
"قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال من
صلى علي صلاة صلى الله عليه بها عشرا"
”Barangsiapa membaca shalawat kepadaku sekali maka Allah
membalasnya sepuluh kali” (Riwayat Muslim).
Ini adalah balasan bagi orang yang membaca shalawat
dengan lisannya saja maka bagaimana pula dengan orang yang melakukannya dengan
hadir untuk menziarahinya ?
Kemudian datanglah ke mimbar Rasulullah SAW dan
bayangkanlah ketika Beliau SAW menaikinya, kemudian bayangkanlah di hatimu
kemunculannya yang anggun seolah-olah di atas mimbar dengan dikelilingi para shabatnya
dari Muhajirin dan Anshar mendengarkan beliau berkhutbah menganjurkan ta’at
kepada Allah.
22. Mintalah kepada Allah agar tidak memisahkan darinya pada hari
kiamat.
Itulah kewajiban penghayatan hati dalam berbagai
amalan Haji. Jika telah selesai dari semua rangkaian amalan tersebut maka
hendaklah hatinya merasa bersedih dan cemas, karena ia tidak tahu apakah
Hajinya diterima dan ditetapkan menjadi kelompok orang-orang yang dicintai
ataukah Hajinya tertolak dan dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang
terusir ? Hendaklah ia mengenali hal tersebut dari hati dan berbagi amal
perbuatannya. Jika hatinya semakin jauh dari dunia yang penuh tipu daya dan
semakin gandrung kepada dunia keakraban dengan Allah, juga mendapati berbagai
amal perbuatannya telah sesuai dengan timbangan syari’at maka ia boleh optimis
terhadap penerimaan, karena sesungguhnya Allah tidak menerima kecuali orang
yang telah dicintai-Nya maka akan dilindungi dan dinampakkan bukti-bukti
kecintaan-Nya dan dijaga dari serangan musuh-Nya, Iblis. Jika hal itu telah
nampak pada dirinya maka hal itu merupakan pertanda penerimaan. Jika yang
terjadi adalah kebalikannya maka hasil perjalanannya tidak lain adalah
kepayahan dan keletihan semata-mata, kita berlindung kepada Allah dari hal
demikian itu .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar