Kamis, 19 September 2013

RENUNGAN AL-GHAZALI TENTANG IBADAH HAJI

Ketahuilah bahwa permulaan Haji, adalah kefahaman tentang kedudukan Haji dalam agama, kerinduan terhadapnya, berazam untuk melakukannya, memutuskan berbagai kendala yang menghalanginya, dan kemudian membeli pakaian ihram, membeli bekal, mempersiapkan kendaraan, keluar, keberangkatan, ihram dari Miqat dengan Talbiyah, memasuki Makkah, dan menyempurnakan berbagai amalan Haji sampai selesai.
Berikut ini kami kutipkan penjelasan Imam Al-Ghazali yang berisi tentang hasil renungan beliau terhadap berbagai rangkaian pelaksanaan ibadah Haji.

1.   Kefahaman :
Ketahuilah bahwa tidak ada wushul (pencapaian) kepada Allah SWT kecuali dengan membersihkan diri dari berbagai syahwat, menahan berbagai kelezatan, membatasi diri pada hal-hal yang bersifat primer (darurat), dan tajarrud (totalitas) kepada Allah dalam semua gerak dan diam. Setelah hal-hal tersebut terkikis, setelah makhluk mengikuti berbagai syahwat, kemudian mereka meninggalhan tajarrud dalam ibadah kepada Allah maka Allah mengutus Nabi-Nya Muhammad SAW untuk menghidupkan jalan akhirat dan memperbaharui sunnah para Rasul dalam menempuh jalan tersebut. Ketika ditanya tentang kerahiban dan wisata dalam agamanya, Nabi SAW menjawab : “Allah telah menggantinya untuk kita dengan jihad dan takbir pada setiap pendakian”(Riwayat Abu Daud dari Hadits Abu Umamah).
Allah telah memberikan ni’mat-Nya kepada ummat ini dengan menjadikan Haji sebagai “kerahiban” bagi mereka. Allah memuliakan Al-Bait Al-Atiq (Baitullah) dengan menisbatkannya kepada diri-Nya, menetapkannya sebagai tujuan para hamba-Nya, menjadikan apa yang ada disekitarnya sebagai kesucian bagi rumah-Nya dan pengagungan urusan-Nya, menjadikan Arafah sebagai kanal pada halaman telaga-Nya, dan menegaskan kesucian tempat dengan mengharamkan binatang buruan dan pepohonannya, yang dijadikan sebagai tujuan para penziarah dari segenap penjuru nun jauh dalam keadaan lusuh seraya merendahkan diri kepada Pemilik “rumah”, berserah diri kepada-Nya, tunduk kepada keagungan-Nya dan pasrah kepada keperkasaan-Nya. Disertai pengakuan bahwa Dia terbebaskan dari bertempat di sebuah rumah atau negeri, agar hal tersebut lebih dapat menyempurnakan kehambaan dan ketundukan mereka. Oleh sebab itu, Dia mewajibkan kepada mereka di dalam Haji ini berbagai amal perbuatan yang tidak akrab bagi jiwa dan tidak biasa difahami makna-maknanya oleh akal, seperti melontar dengan batu kerikil, dan berjalan pulang-balik antara Shafa dan Marwah beberapa kali putaran. Dengan berbagai amal perbuatan seperti ini nampaklah kesempurnaan kehambaan dan ‘ubudiyah.
Sesungguhnya zakat adalah wujud solidaritas yang bisa difahami hikmahnya dan akal juga punya kecenderungan kepadanya. Puasa adalah mengalahkan syahwat yang menjadi alat musuh Allah, dan konsentrasi ibadah dengan menahan diri dari berbagai hal yang menyibukkan. Ruku’ dan sujud dalam sholat adalah merendahkan diri kepada Allah dengan berbagai perbuatan yang mencerminkan kerendahan, dan jiwa pun sudah terbangun untuk mengagungkan Allah. Akan tetapi berjalan mondar mandir dalam Sa’i, melempar batu kerikil dan perbuatan-perbuatan lainnya, yang semisal dalam ibadah Haji ini “ tidak biasa” bagi jiwa dan tidak bisa difahami maknanya oleh akal. Tidak ada faktor yang mendorong untuk melakukan hal tersebut kecuali semata-mata perintah dan tujuan melaksanakan perintah yang wajib diikuti. Hal ini mengandung arti menghentikan peran akal dan memalingkan jiwa dan tabi’at dari hal-hal yang telah diakrabinya. Karena setiap hal yang maknanya bisa difahami oleh akal pasti tabi’at memiliki kecenderungan kepadanya, sehingga kecenderungan tersebut menjadi pembantu dan pendorong sekaligus untuk melaksanakannya. Dengan demikian disini tidak nampak kesempurnaan kehambaan dan ketundukan. Oleh karena itu, Nabi Muhammad SAW mengucapkan dalam Haji secara khusus : “Aku sambut seruan-Mu dengan Haji sebagai hak, ubudiyah dan penghambaan”.
 Rasulullah SAW tidak pernah mengucapkan ucapan tersebut dalam kaitannya dengan shalat atau ibadah lainnya. Apabila hikmah kebijksanaan Allah menghendaki bahwa keselamatan makhluk terkait dengan keharusan agar amal perbuatan mereka berlawanan dengan hawa nafsu tabi’at mereka dan perbuatan mereka didasarkan pada sunnah-sunnah kepatuhan dan berbagai amal perbuatan mereka didasarkan pada sunnah-sunnah kepatuhan dan sebagai konsekwensi penghambaan, maka sesuatu (ibadah) yang makna-maknanya tidak bisa difahami oleh akal merupakan bentuk ibadah yang paling baik dan mengena dalam tazkiyatun-nafs dan pengalihannya dari tuntutan tabi’at dan akhlak kepada tuntutan penghambaan.
Apabila engkau telah memahami hal ini maka engkau pasti akan faham bahwa kekagetan jiwa dari berbagai amal perbuatan yang aneh ini sumbernya adalah ketidakfahaman tentang berbagai rahasia ibadah. Kiranya penjelasan ini sudah cukup untuk memahami prinsip Haji Insya Allah.

2.    Kerinduan.
Suasana bathin ini akan muncul setelah kefahaman dan kesadaran bahwa rumah itu adalah Baitullah, sehingga orang berangkat menuju Allah dan berziarah kepada-Nya.

3.    ‘Azam.
Hendaknya diketahui bahwa dengan ‘azamnya ia bertekad meninggalkan keluarga dan negeri, menjauhi berbagai syahwat dan kelezatan dengan tujuan menziarahi rumah Allah. Hendaknya ia menggagungkan dalam dirinya keagungan “rumah” dan keagungan Pemilik rumah. Hendaknya diketahui bahwa ia telah bertekad melakukan sesuatu yang sangat penting, dan siapa yang mencari sesuatu yang sangat agung maka sesungguhnya ia mempertaruhkan hal yang sangat agung. Hendaklah ia menjadikan tekadnya itu semata-mata ikhlas karena mencari ridha Allah, jauh dari berbagai kotoran riya’ dan pamrih. Hendaknya ia menyadari bahwa tujuan dan amal perbuatannya tidak akan diterima kecuali jika dilakukan secara ikhlas. 

4.       Memutuskan Berbagai Kendala.
Maksudnya adalah menyelesaikan berbagai “perkara” atau “sangkutan” yang berkaitan dengan manusia  dan bertaubat secara ikhlas kepada Allah dari semua kemaksiatan. Karena setiap “perkara” merupakan sangkutan. Setiap sangkutan, seperti orang yang berhutang, akan hadir dan berkaitan dengan talbiyah-talbiyahnya. Kepadanya akan diserukan : Kemanakah kamu pergi, apakah kamu bermaksud ke rumah Raja Diraja sedangkan engkau menyia-nyiakan perintah-Nya di rumahmu ini dan mengabaikannya? Tidakkah engkau malu, engkau datang kepada-Nya sebagai seorang hamba yang bermaksiat sehingga Dia tidak akan menerimamu? Jika engkau ingin ziarahmu  diterima maka laksanakanlah perintah-perintah-Nya, selesaikanlah segala perkaramu, bertaubatlah kepada-Nya dari semua kemaksiatan, dan putuskanlah keterkaitan hatimu dari berpaling kepada apa yang ada dibelakangmu, agar engkau bisa menghadap kepada-Nya dengan wajah hatimu, sebagaimana engkau menghadap ke rumah-Nya dengan wajah zhahirmu.  Jika engkau tidak melakukan hal itu maka perjalananmu tidak mendapatkan apa-apa kecuali keletihan, kesengsaraan, bahkan pengusiran dan penolakan.  

 5.     Membeli Dua Pakaian Ihram
Maka pada saat itu hendaklah ia mengingat kain kafan yang akan membungkusnya. Ia akan memakai dan bersarung dengan dua kain ihram pada saat mendekati Baitullah, dan bisa jadi perjalanannya tidak bisa mencapainya, tetapi yang pasti ia akan bertemu Allah dalam keadaan terbungkus dengan kain kafan. Seperti halnya ia tidak menjumpai Baitullah kecuali dengan pakaian khusus yang tidak biasa dipakai, demikian pula ia tidak akan bertemu Allah setelah kematian kecuali dalam pakaian yang tidak sama dengan pakaian dunia. Pakaian ini sangat dekat dengan pakaian ihram tersebut sebab tidak berjahit sebagaimana kain kafan.

6.       Bekal.
Carilah bekal dari tempat yang halal. Jika merasakan adanya ketamakan untuk memperbanyak dan tuntutan untuk selalu ada sepanjang perjalanan, tanpa berubah dan rusak sebelum tercapainya tujuan, maka hendaklah ia mengingat bahwa perjalanan akhirat lebih panjang dari perjalanan ini. Bekal yang sesungguhnya adalah taqwa sedangkan bekal selainnya, yang dikira sebagai bekalnya, akan tertinggal saat kematiannya dan tidak menyertainya, seperti makanan basah yang rusak di awal terminal perjalanan sehingga ketika membutuhkan ia kebingungan tanpa bisa berbuat apa-apa. Maka hendaklah berhati-hati jika amal perbuatannya yang merupakan bekalnya ke akhirat itu tidak dapat menyertainya setelah kematian, bahkan telah rusak oleh berbagai bakteri riya’ dan keteledoran.

7.     Kendaraan
Hendaklah ia bersyukur kepada Allah dengan hatinya atas berbagai kendaraan yang telah ditundukkan Allah untuk manusia, dan hendaklah mengingat pada saat itu akan kendaraan yang dinaikinya ke kampung akhirat yaitu Jenazah yang diusung di atas kendaraan itu. Karena sesungguhnya urusan orang Haji sama dengan urusan perjalanan, dan hendaklah ia memperhatikan apakah perjalanannya dengan kendaraan ini layak menjadi bekal bagi perjalanan di atas kendaraan tersebut ? Betapa dekat hal tersebut dengannya. Bukankah kematian sangat dekat dan pengusungan jenazah dapat dipastikan, sedangkan kemudahan perjalanan masih penuh keraguan ? Bagaimana bisa terjadi ia sangat baik mempersiapkan bekal perjalanan yang masih diragukan dengan memeriksa bekal dan kendaraannya tetapi ia mengabaikan persiapan perjalanan yang pasti ?
8.       Keluar dari Negeri
Pada saat itu hendaklah ia mengetahui bahwa ia pasti berpisah dengan keluarga dan kampung halaman menuju Allah dalam suatu perjalanan yang tidak sama dengan berbagai perjalanan dunia. Karena itu hendaklah ia menghadirkan didalam hatinya apa yang ia inginkan, kemana arah yang dituju, dan siapa yang akan dikunjungi ? Sesungguhnya ia menuju kepada Raja Diraja di tengah keramaian para penziarah-Nya yang diseru lalu mereka bangkit berduyun-duyun. Mereka memutuskan segala keterkaitan dan meninggalkan semua makhluk menuju ke Baitullah yang sangat diagungkan demi mengharap kepada Pemilik rumah itu akan puncak karunia-Nya dan kebahagian dengan melihat-Nya (kelak di surga). Hendaknya ia menghadirkan di dalam hatinya harapan wushul (sampai) dan qabul (diterima), bukan sebagai perbuatan nekat atau spekulasi dalam melakukan perjalanan dan perpisahan dengan keluarga dan harta kekayaannya, tetapi karena yakin akan karunia Allah dan harapan akan mendapatkan janji-Nya yang telah diberikan kepada orang yang menziarahi rumah-Nya. Hendaklah ia mengharap, seandainya tidak bisa sampai Baitullah karena meninggal di tengah perjalanan, bisa bertemu Allah dan bertamu kepada-Nya, karena Dia telah berfirman :
"ومن يخرج من بيته مهاجرا إلى الله ورسوله ثم يدركه الموت فقد وقع أجره على الله"
“ Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dimaksud), maka sungguh telah tetap pahalanya disisi Allah” (Qs. An-Nisa : 100)

9.       Berangkat Menuju Miqat.
Pada saat itu hendaklah ia mengingat suasana antara keluar dari dunia dengan kematian menuju miqat hari kiamat dan berbagai peristiwanya yang mengerikan. Juga suasana keterpisahannya dari keluarga dan kerabatnya; kegelapan kubur, kepayahan, dan kesendiriannya. Hendaknya  berbagai kekhawatiran terhadap berbagai amal perbuatan dan perkataanya ini menjadi bekal untuk menghadapi berbagai suasana kubur yang menakutkan itu.

10.   Ihram dan Talbiyah dari Miqat.
Pada saat itu hendaklah ia mengetahui bahwa maknanya ialah menyambut seruan Allah. Karena itu berharaplah penerimaan dari-Nya dan takutlah bila dikatakan kepada Anda :
"لا لبيك ولا سعديك"
 “Tidak ada sambutan untukmu dan tidak ada kebahagian bagimu”. Hendaklah anda selalu berada dalam keadaan antara harap dan cemas. Janganlah anda mengandalkan kemampuan dan kekuatanmu, tetapi berharap penuhlah kepada karunia dan kedermawanan Allah, karena waktu talbiyah merupakan awal persoalan (yang sebenarnya) dan sekaligus sangat penting.
Sufyan bin Uyainah berkata: Ali bin Al-Husain RA menunaikan Haji ketika berihram di atas kendaraan, wajahnya pucat pasi, badannya gemetar dan tidak bisa mengucapkan talbiyah, lalu ditanya kepadanya : Mengapa engkau tidak bertalbiyah ? Ia menjawab : “Aku takut bila dikatakan kepadaku, tidak ada sambutan untukmu dan tidak ada kebahagiaan bagimu.”
Ketika ber-talbiyah dengan suara keras di miqat hendaknya orang yang bertalbiyah mengingat akan sambutannya kepada seruan Allah ketika berfirman : وأذن في الناس بالحج )) “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan Haji.”           (QS. Al-Hajj : 27). Juga seruan-Nya kepada makhluk dengan tiupan sangkakala, kebangkitan mereka dari kubur dan berdesakkan mereka di lapangan hari kiamat demi memenuhi seruan Allah ; sementara itu mereka terbagi kepada golongan muqarrabin dan golongan yang dimurkai atau golongan yang diterima dan golongan yang ditolak. Pada mulanya mereka berada dalam suasana antara cemas dan harap seperti suasana para hujjaj di miqat dimana mereka tidak mengetahui apakah mereka akan mampu menyempurnakan Haji dan diterima ataukah tidak ?

11.   Memasuki Makkah.
Pada saat itu hendaklah ia mengingat bahwa ia telah sampai ke tanah suci Allah dengan aman, dan hendaklah ia berharap dengan hal tersebut akan aman dari siksa Allah. Hendaklah ia takut bila tidak menjadi orang yang dekat (dengan-Nya) sehingga dengan memasuki tanah suci ia menjadi kecewa dan berhak mendapatkan murka. Hendaklah pengharapannya selalu mewarnai seluruh waktunya, Karena kedermawanan Allah sangat luas, Tuhan Maha Kasih - Sayang, kemuliaan Baitullah sangat agung, hak orang yang menziarahinya terpelihara, dan jaminan orang yang meminta perlindungan tidak tersia-siakan.

12.   Pandangan Mata pada Baitullah.
Hendaklah pada saat itu ia menghadirkan keagungan ka’bah di dalam hati dan merasakan seolah-olah ia menyaksikan Pemilik rumah karena saking besarnya  pengagungan terhadapnya. Berharaplah agar Allah berkenan memberikan karunia melihat wajah-Nya yang Maha Mulia (di surga) sebagaimana Dia telah mengaruniakan Anda menyaksikan rumah-Nya yang mulia. Bersyukurlah kepada Allah atas perkenan-Nya yang telah menyampaikan Anda ke derajat ini dan menyusulkan Anda dengan rombongan orang-orang yang bertamu kepada-Nya. Ingatlah pada saat itu berduyun-duyunnya semua pada hari kiamat kearah surga dengan penuh harap bisa memasukinya, kemudian mereka terbagi kepada golongan yang diizinkan memasukinya dan golongan yang ditolak, persis seperti terbaginya para hujjaj kepada golongan yang diterima dan golongan yang ditolak Hajinya. Janganlah lupa mengingat perkara-perkara akhirat dari setiap apa yang Anda saksikan, karena semua keadaan para hujjaj merupakan gambaran ihwal keadaan akhirat.

13.   Thawaf di Baitullah.
Ketahuilah bahwa ia adalah shalat. Karena itu, hadirkanlah ta’zhim, rasa cemas, harap, dan cinta (yang telah kami jelaskan dalam bab shalat) di dalam hatimu. Ketahuilah bahwa dengan thawaf engkau seperti para malaikat muqarrabin yang berkerumunan diseputar ‘Arsy dan mengelilinginya. Janganlah Anda mengira bahwa tujuan thawaf adalah semata-mata mengelilingi Baitullah dengan jasad, tetapi maksud utamanya adalah thawaf hati dengan mengingat Tuhan Pemilik rumah, sehingga janganlah Anda memulai dzikir kecuali dari-Nya dan janganlah Anda mengakhiri dzikir kecuali dengan-Nya, sebagaimana Anda memulai tahwaf dari ka’bah dan berakhir di ka’bah.

14.   Istilam (mencium atau menyentuh Hajar Aswad).
Maka yakinilah pada saat itu bahwa engkau tengah berbai’at kepada Allah untuk mentaati-Nya. Kuatkanlah tekadmu untuk menepati bai’atmu. Barangsiapa menghianati bai’at maka ia berhak mendapatkan murka. Ibnu Abbas RA meriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda :
" عن ابن عباس قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :  إن هذا الركن الأسود يمين الله في الأرض يصافح به عباده"
 “Hajar Aswad adalah tangan kanan Allah di muka bumi yang dengannya Dia menyalami makhluk-Nya sebagaimana seseorang menyalami saudaranya.” (Diriwayatkan oleh Al-Hakim dan dia men-shahih-kannya)

15.   Bergelantungan dengan Kelambu Ka’bah dan Menempel di Multazam
Berniatlah dalam menempel tersebut untuk meningkatkan kecintaan dan kerinduan kepada ka’bah dan Pemilik Ka’bah dan berharap perlindungan kepada-Nya dari api neraka dalam setiap bagian dari badanmu. Berniatlah dalam bergelantungan dengan kelambu Ka’bah itu untuk meningkatkan keseriusan dalam memohon ampunan dan keamanan, seperti orang yang berdosa yang bergelayutan dengan pakaian orang yang dimintai ma’af, yang merendahkan diri kepada-Nya demi mengharap ampunan-Nya, yang menampakkan bahwa tidak ada tempat berlindung dari-Nya kecuali kepada-Nya, ia tidak akan melepasakannya kecuali dengan ampunan dan jaminan keamanan di masa depan (akhirat).
  
16.   Sa’I antara Shafa dan Marwah di Pelataran Baitullah.
Sesungguhnya ia sama dengan mondar mandirnya hamba dilapangan rumah Raja demi memperlihatkan keikhlasan dalam berkhidmah dan mengharapkan perhatian dengan mata kasih sayang, seperti orang yang masuk kepada Raja kemudian keluar dalam keadaan tidak menyadari apa yang telah diputuskan seoarang Raja berkenaan dengan dirinya, apakah diterima atau ditolak ? Ia senatiasa mondar mandir antara shafa dan marwah itu akan bolak-baliknya dua daun timbangan di lapangan hari kiamat. Hendaklah ia mengingat pula bolak-baliknya di antara dua daun timbangan itu seraya melihat kepada hasil timbangan, surga atau ampunan.

17.   Wuquf di Arafah.
Ingatlah dari pemandangan tentang berjubelnya manusia, alunan suara, perbedaan bahasa, dan kelompok-kelompok yang mengikuti para pemimpinnya dalam berbagai pelaksanaan manasik akan lapangan hari kiamat, pertemuan semua ummat beserta para Nabi dan pemimpin mereka, ambisi mereka untuk mendapatkan syafa’at para pemimpin mereka, kebingungan mereka di sebuah lapangan, antara diterima dan ditolak. Bila Anda telah mengingat hal tersebut maka ajaklah hatimu untuk merendah dan berdo’a kepada Allah agar berkenan menghimpun Anda bersama kelompok orang-orang yang sukses dan mendapatkan limpahan kasih sayang. Realisasikanlah harapanmu dengan berbaik sangka kepada Allah; karena suasana tersebut merupakan kesempatamn ijabah. Oleh karena itu dikatakan, “sesungguhnya diantara dosa yang paling besar ialah seseorang datang di Arafah sedangkan ia menyangka bahwa Allah tidak mengampuninya.” Seolah-olah bersatunya kemauan dan menampakkan persatuan para hadirin dari berbagai penjuru negeri merupakan rahasia Haji dan puncak tujuannya, karena itu tidak ada jalan yang lebih baik untuk meminta kucuran rahmat Allah selain bersatunya kemauan dan kerjasama hati dalam satu waktu.

18.   Melempar Jumrah.
Maka niatkanlah untuk mematuhi perintah, demi membuktikan kehambaan dan ‘ubudiyah, dan bergegas semata-mata melaksanakan perintah tanpa berfikir panjang, disamping meneladani Nabi Ibrahim ketika dihadang Iblis La’anahullah ditempat tersebut lalu Allah memerintahkannya agar melemparinya dengan batu dalam rangka mengusir dan menggagalkan harapannya. Jika terbetik dalam pikiran Anda bahwa syeitan menghadangnya lalu ia (Nabi Ibrahim) melemparnya, tetapi sekarang syeitan tidak menghadangku ? Maka ketahuilah bahwa khayalan tersebut berasal dari syeitan; dialah yang telah memasukkan bisikan itu kedalam hatimu untuk mengendorkan tekadmu dalam melempar, dan dibayangkan dalam fikiran Anda bahwa perbuatan tersebut tidak bermanfaat dan sia-sia, lalu mengapa Anda repot-repot melakukannya ? Jika fikiran seperti ini muncul maka usirlah segera dari dirimu dengan keseriusan dan semangat yang tinggi dalam melempar sekalipun syeitan tidak menyukainya. Dengan demikian Anda telah mematahkan punggungnya karena dia tidak berhasil menghalangimu dari melaksanakan perintah Allah, demi mengagungkan-Nya dengan semata-mata perintah tanpa banyak berfikir lagi.
 
19.   Menyembelih Binatang Qurban (Hadyu)
Ketahuilah bahwa ia merupakan taqarrub kepada Allah dengan melaksanakan perintah. Karena itu, persiapkanlah binatang qurban itu dengan sempurna dan berharaplah kepada Allah agar Dia membebaskan setiap bagian jasadmu  dari api neraka dengan setiap bagian binatang qurban tersebut. Semakin besar dan banyak bagian-bagian binatang qurban itu semakin banyak pula pembebasannya dari api neraka.

20.   Ziarah ke Madinah.
Apabila penglihatan Anda telah menyaksikan tembok-tembok Madinah maka ingatlah bahwa ia adalah negeri yang telah dipilih Allah untuk Nabi-Nya SAW, tempat hijrahnya, kampung yang menjadi tempat menerima berbagai ajaran Allah, wilayah yang menjadi tempat melakukan jihad melawan musuhnya dan memenangkan agamanya hingga Allah memanggilnya, dan tempat kuburannya bersama dua orang pendukung setianya, Abu Bakar dan Umar RA. Kemudian bayangkanlah jejak-jejak langkah Rasulullah SAW di saat menjalani kehidupannya, bayangkanlah jalan dan langkahnya di lorong-lorongnya, bayangkanlah kekhusyu’an dan ketenangannya dalam berjalan, hati yang penuh ma’rifat kepada Allah, namanya yang telah diagungkan Allah hingga disebut bersama-Nya dan batalnya amal orang yang melecehkan kehormatannya sekalipun hanya berupa meninggikan suara di atas suaranya. Kemudian ingatlah karunia yang telah diberikan Allah kepada orang-orang yang telah menyertainya, hidup semasa denganya dan mendengarkan sabda-sabdanya. Sesalilah dirimu sejadi-jadinya karena tidak mendapatkan kesempatan menjadi shahabatnya atau menjadi kawan para shahabatnya. Kemudian ingatlah bahwa engkau tidak mendapatkan kesempatan untuk melihatnya di dunia dan untuk bisa melihatnya di akhirat pun belum bisa dipastikan, bahkan bisa jadi Anda tidak dapat melihatnya kecuali dengan susah payah. Sementara itu Beliau SAW tidak dapat menerimamu karena keburukan amal pebuatanmu, sebagaimana disabdakannya : “Allah mengangkat beberapa kaum kepadaku lalu mereka berkata : Wahai Muhammad ! Kemudian aku berkata : “Wahai Tuhanku, para shahabatku.” Tetapi Allah menjawab : “Sesungguhnya kamu tidak tahu apa yang telah mereka lakukan sesudahmu,” lalu aku berkata : “Menjauhlah dan celakalah kalian”. (Riwayat Bukhari & Muslim).
  Jika Anda tinggalkan kehormatan syari’atnya sekalipun hanya satu detik maka engkau tidak aman dari hambatan yang akan menghalangimu dari Nabi SAW karena penyimpanganmu dari hujjahnya. Perbesarlah harapanmu agar Allah tidak menghalangimu darinya dengan mengaruniakan iman. Sungguh engkau sangat memerlukan pandangan kasih sayang Allah. Apabila engkau sampai di Masjid Nabawi, maka ingatlah bahwa ia adalah pelataran yang telah dipilih Allah untuk Nabi-Nya dan kaum Muslimin yang pertama. Ingatlah bahwa kewajiban-kewajiban Allah pertama kali ditegakkan adalah di pelataran tersebut. Ia telah menghimpun makhluk Allah yang paling utama baik semasa hidup ataupun sesudah kematiannya. Perbesarlah harapanmu kepada Allah agar melimpahkan rahmat-Nya kepadamu dengan Anda memasuki Masjid. Sungguh tempat ini merupakan tempat yang paling mudah untuk menghadirkan kekhusyu’an hati setiap Mu’min.
 
21.   Ziarah ke Makam Rasulullah SAW.
Hendaklah engkau berdiri dihadapannya dan menziarahinya seolah-olah engkau menziarahinya ketika masih hidup. Janganlah anda mendekati kuburannya kecuali seperti halnya engkau mendekati pribadinya yang mulia semasa hidup; sebagaimana engakau berpendapat haram menyentuh kuburnya dan menciumnya, tetapi berdirilah dari kejauhan di hadapannya, karena menyentuh kuburan dan menciumnya untuk kesaksian merupakan tradisi kaum Nasrani dan Yahudi. Hadirkanlah keagungan derajatnya di hatimu, karena telah diriwayatkan dari Nabi SAW : “Sesungguhnya Allah telah mewakilkan malaikat di kuburnya untuk menyampaikan kepadanya salam orang yang mengucapkan salam dari ummatnya”.
Ini menyangkut hak orang yang tidak mendatangi kuburannya  maka bagaimana pula dengan orang yang sengaja meninggalkan negeri dan menempuh perjalanan jauh karena merindukan pertemuan dengannya, dan cukup menyaksikan kuburnya yang mulia karena tidak mendapatkan kesempatan menyaksikannya secara langsung ? Nabi SAW bersabda :
"قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال من صلى علي صلاة صلى الله عليه بها عشرا"
”Barangsiapa membaca shalawat kepadaku sekali maka Allah membalasnya sepuluh kali” (Riwayat Muslim).
Ini adalah balasan bagi orang yang membaca shalawat dengan lisannya saja maka bagaimana pula dengan orang yang melakukannya dengan hadir untuk menziarahinya ?
Kemudian datanglah ke mimbar Rasulullah SAW dan bayangkanlah ketika Beliau SAW menaikinya, kemudian bayangkanlah di hatimu kemunculannya yang anggun seolah-olah di atas mimbar dengan dikelilingi para shabatnya dari Muhajirin dan Anshar mendengarkan beliau berkhutbah menganjurkan ta’at kepada Allah. 

22. Mintalah kepada Allah agar tidak memisahkan darinya pada hari kiamat.
Itulah kewajiban penghayatan hati dalam berbagai amalan Haji. Jika telah selesai dari semua rangkaian amalan tersebut maka hendaklah hatinya merasa bersedih dan cemas, karena ia tidak tahu apakah Hajinya diterima dan ditetapkan menjadi kelompok orang-orang yang dicintai ataukah Hajinya tertolak dan dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang terusir ? Hendaklah ia mengenali hal tersebut dari hati dan berbagi amal perbuatannya. Jika hatinya semakin jauh dari dunia yang penuh tipu daya dan semakin gandrung kepada dunia keakraban dengan Allah, juga mendapati berbagai amal perbuatannya telah sesuai dengan timbangan syari’at maka ia boleh optimis terhadap penerimaan, karena sesungguhnya Allah tidak menerima kecuali orang yang telah dicintai-Nya maka akan dilindungi dan dinampakkan bukti-bukti kecintaan-Nya dan dijaga dari serangan musuh-Nya, Iblis. Jika hal itu telah nampak pada dirinya maka hal itu merupakan pertanda penerimaan. Jika yang terjadi adalah kebalikannya maka hasil perjalanannya tidak lain adalah kepayahan dan keletihan semata-mata, kita berlindung kepada Allah dari hal demikian itu .   
  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar